Tampilkan postingan dengan label anak guru drona. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anak guru drona. Tampilkan semua postingan

Rabu, 03 Februari 2021

ASWATAMA

        


   KISAH ASWATAMA Dalam epos Mahabharata Aswatama adalah seorang brahmana-kesatria, putra Drona dengan Krepi. Mahabharata menceritakannya sebagai putra kesayangan Drona. Dalam mitologi Hindu, ia dikenal sebagai salah satu dari tujuh ciranjiwi (makhluk abadi), yang dikutuk untuk hidup selamanya tanpa memiliki rasa cinta, setelah melakukan pembunuhan terhadap lima putra Pandawa dan mencoba menggugurkan janin yang dikandung Utari, istri Abimanyu.

        Mahabharata mendeskripsikan Aswatama sebagai lelaki bertubuh tinggi, dengan kulit gelap, bermata hitam, dan dilekati oleh sebuah permata di dahinya. Sebagaimana BismaDronaKrepaKarna, dan Arjuna, ia merupakan seorang ahli ilmu perang dan dipandang sebagai salah satu kesatria ulung pada masanya. Aswatama juga menyandang gelar maharathi, dan merupakan salah satu jenderal andalan Korawa dalam perang Kurukshetra. Setelah perang di Kurukshetra berakhir, hanya ia bersama Kertawarma dan Krepa yang yang masih dari pihak Korawa.

        KISAH ASWATAMA Aswatama merupakan putra dari pasangan Bagawan Drona dengan Krepi, adik Krepa (pendeta agung Hastinapura pada masa pemerintahan para raja Dinasti Kuru). Ia terlahir dengan sebuah batu permata (mani) yang melekat di dahinya. Saat kecil ia hidup dalam kemiskinan; dalam epos Mahabharata mendeskripsikan bahwa keluarga Aswatama bahkan tidak mampu menyediakan susu, minuman yang lazim pada masyarakat saat itu. Demi memberikan kehidupan yang lebih layak kepada Aswatama, Drona mencoba mencari bantuan kepada teman lamanya yang bernama Drupada, tetapi berujung pada penghinaan dan permusuhan karena Drupada menghina status sosial Drona.



        Dalam epos Mohabharata keluarganya mengalami perubahan setelah Drona diangkat sebagai guru kerajaan oleh keluarga Dinasti Kuru di Hastinapura. Ia melatih ilmu militer para pangeran Dinasti Kuru, yaitu seratus Korawa dan lima Pandawa. Kekuatannya hampir setara dengan Arjuna, terutama dalam ilmu memanah. Di antara para pangeran Kuru, ia berteman baik dengan Duryodana, putra sulung Dretarastra. Mereka berdua memiliki kecemburuan kepada Pandawa. Duryodana merasa bahwa Yudistira adalah penghalangnya dalam mewarisi takhta Hastinapura, sementara bakat Arjuna membuat Aswatama iri karena merasa bahwa kasih sayang ayahnya telah terbagi, sebab Arjuna adalah murid kesayangan Drona.

      KISAH ASWATAMA Dalam rangka menyelesaikan pendidikan para pangeran Kuru, Drona memerintahkan para Korawa  dan pandawa untuk melakukan tugas akhir, yaitu mengalahkan Drupada, Raja Panchala, dan membawanya hidup-hidup ke hadapan Drona. Setelah para Korawa gagal melaksanakan tugasnya, para pandawa Arjuna dan saudara-saudaranya  menunaikan tugas tersebut. Arjuna berhasil membawa Drupada ke hadapan Drona. Drona menjelaskan bahwa dendamnya kepada Drupada telah berakhir pada saat itu juga. Ia juga membagi kerajaan Panchala menjadi dua wilayah, dan mengangkat Aswatama sebagai raja di sebagian wilayah Panchala tersebut.

    Saat perang baratayuda di antara Pandawa dan Korawa meletus, Aswatama memihak kepada Korawa. Karena kasih sayang yang begiitu besar kepada aswatama Keputusan anaknya itu memaksa Drona untuk bergabung dengan Korawa.  Dan maenjadi musuh para pandawa. Saat bertempur dengan arjuna ia memanggil senjata Agneyastra untuk menyerang Arjuna, tetapi berhasil ditumpas dengan senjata Brahmastra. Pertarungannya dengan Bima dalam Bharatayuddha pun berakhir dengan kekalahan aswatama.

      KISAH ASWATAMA Pada pertempuran di hari ke-10, Drona diangkat sebagai panglima tertinggi pasukan Korawa, menggantikan Bisma yang telah kalah. Drona berjanji bahwa ia akan menangkap Yudistira dan membawanya ke hadapan Duryodana, tetapi janji itu senantiasa gagal ditunaikan. Duryodana pun mulai mencela Drona, yang menyebabkan Aswatama emosi. Akhirnya timbul perselisihan antara Duryodana dengan Aswatama.

    Untuk dapat mengalahkan guru drona, krisna menyarankan agar memberitahu kematian aswatama kepada guru drone. Itu pasti bisa membuuat semangat temppur dari guru drone akan menurun, Sehingga lebiih mudah dikalahkan.  Setelah mendengar bahwa "Aswatama gugur", Drona langsung merasa lemas dan tidak melanjutkan pertempuran. Ia segera duduk dalam posisi asanas. Melihat Drona sudah tak bersemangat lagi, Drestadyumna, panglima tertinggi pihak Pandawa bergegas mengambil pedangnya, kemudian memenggal leher Drona.

        KISAH ASWATAMA Mengetahui bahwa ayahnya Gugur, Aswatama pun murka. Ia mengeluarkan senjata Narayanastra untuk memusnahkan Pandawa. Pengeluaran senjata tersebut diiringi dengan tiupan angin kencang, sambaran petir, dan kemunculan jutaan anak panah yang siap menyasar setiap orang bersenjata di kubu Pandawa. Hal tersebut menggentarkan pihak Pandawa, sampai akhirnya Kresna menyuruh semua orang di kubu Pandawa untuk menjatuhkan senjata dan bersikap menyerah kepada Narayanastra.

        Sebagai awatara Wisnu (Narayana), Kresna tahu bahwa Narayanastra hanya menyerang orang-orang yang bersenjata saja. Setelah semua orang di kubu Pandawa menjatuhkan senjata, Narayanastra pun kehilangan target serangannya, lalu kembali kepada Aswatama. Saat pertempuran berlanjut kembali, Duryodana menyuruh Aswatama agar mengeluarkan Narayanastra sekali lagi, tetapi Aswatama menerangkan bahwa apabila senjata tersebut dipakai lagi, maka pemakainyalah yang akan menjadi sasaran.

        

    Dalam kitab Sauptikaparwa dikisahkan bahwa pada hari ke-18 (hari berakhirnya berperang), yang tersisa dari pihak Korawa ada tiga orang: Aswatama, Krepa, dan Kertawarma. Setelah perang di hari terakhir usai, mereka mendapati bahwa Duryodana terluka parah setelah berduel dengan Bima. Dalam keadaan sekarat, Duryodana mengangkat Aswatama sebagai panglima tertinggi Korawa, dan memohon agar ia membalaskan dendam Duryodana. Aswatama—yang juga memiliki dendam—berjanji untuk membunuh para perwira pihak Pandawa demi Duryodana setelah perang berakhir secara resmi. KISAH ASWATAMA

        Terinsiprasi dari burung hantu yang menyambar gagak di tengah malam, Aswatama menggagas untuk melakukan serangan pada malam hari. Namun niatnya ditentang oleh Krepa karena itu merupakan perbuatan yang tidak adil. Aswatama pun mengutarakan bahwa peperangan memang tidak adil, dan semua pihak memang tidak adil. Pada akhirnya Krepa dan Kertawarma tetap mengikuti instruksi Aswatama untuk melakukan serangan malam di perkemahan para Pandawa. Di pintu gerbang perkemahan, mereka bertiga dihadang raksasa penjaga. Segala senjata yang diluncurkan Aswatama tidak mampu mengalahkan makhluk itu. Kemudian Aswatama memohon bantuan Dewa Siwa. Sang dewa muncul lalu memberikan kesaktian bagai Rudra kepada Aswatama, yang membuatnya tak terkalahkan dan berhasil merangsek masuk dengan mudah ke perkemahan Pandawa.

  KISAH ASWATAMA Pertama-tama, Aswatama mencari tenda Drestadyumna lalu membunuhnya. Setelah berhasil membunuh dresttadyumna ia mencari Srikandi dan Pancakumara (lima putra Pandawa),mereka terbunuh oleh Aswatama yang telah mendapatkan kekuatan dari Siwa. Aswatama juga membunuh YudamanyuUtamoja, dan para kesatria yang ada di perkemahan, kemudian mengamuk bagaikan Rudra. Sementara itu, Krepa dan Kertawarma berjaga di gerbang perkemahan, dan membunuh para prajurit yang melarikan diri dari amukan Aswatama.

        Setelah melakukan pembantaian di perkemahan Pandawa, ketiga kesatria kembali menghadap Duryodana dan menyatakan bahwa para perwira Panchala (Drestadyumna, Srikandi, Yudamanyu, Utamoja) telah binasa, dan anak-anak para Pandawa telah punah. Duryodana merasa senang mendengarkan berita keberhasilan Aswatama; sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh BismaDrona, dan Karna untuknya. Tak lama kemudian, Duryodana menghembuskan napas terakhirnya. Aswatama, Krepa, Kertawarma, beserta para prajurit Korawa yang tersisa melaksanakan upacara pembakaran jenazah untuknya.

        KISAH ASWATAMA Pada saat serangan malam, Pandawa sedang tidak berada di perkemahan sehingga selamat dari amukan Aswatama. Seorang kusir kereta Drestadyumna berhasil meloloskan diri dari serangan Krepa dan Kertawarma di pintu gerbang. Ia melaporkan kejadian kepada Yudistira sehingga para Pandawa bergegas kembali ke perkemahan mereka. Ketika kembali, mereka mendapati bahwa perkemahan telah porak poranda. Sementara itu, Aswatama mengungsi ke asrama Resi Byasa setelah menyesali perbuatannya. Pandawa memburu Aswatama hingga ke asrama sang bagawan. Di sana, ia bertarung dengan Arjuna.

        Saat pertarungan, Aswatama memanggil senjata Brahmastra, yang dulu ingin ditukar dengan cakra milik Kresna namun tidak berhasil. Dengan senjata itu ia menyerang Arjuna dan Arjuna membalasnya dengan mengeluarkan senjata yang sama. Takut akan kehancuran dunia, Resi Byasa menyuruh agar kedua kesatria tersebut menarik senjatanya kembali. Sementara Arjuna berhasil melakukannya, Aswatama yang belum diberi pengetahuan untuk menarik Brahmastra diberi pilihan agar senjata menyerang target lain untuk dihancurkan. Aswatama mengarahkan senjatanya menuju rahim Utari (menantu Arjuna) yang sedang hamil, dengan tujuan memutus garis keturunan Pandawa. Senjata itu berhasil membakar janin Utari, tetapi Kresna menghidupkannya lagi.

        KISAH ASWATAMA Pada akhir buku Sauptikaparwa dinyatakan bahwa Kresna mengutuk Aswatama agar menderita kusta dan mengembara di Bumi sampai akhir zaman Kaliyuga. Aswatama juga dipaksa menyerahkan batu permata berharga (mani) yang melekat di dahinya, yaitu permata yang membuatnya tidak takut terhadap segala senjata, penyakit, atau rasa lapar, dan membuatnya tak takut terhadap para dewaraksasadetya, dan naga. Setelah permatanya dilepaskan, bekas lekatannya meninggalkan luka di dahinya, yang mengeluarkan darah berbau tidak sedap yang tidak akan pernah berhenti mengalir sampai akhir zaman Kaliyuga.

        Di India masa kini, Aswatama telah menjadi legenda urban, dan dipercaya masih hidup serta mengembara ke berbagai kuil Siwa, memohon agar lukanya dapat disembuhkan.